Powered By Blogger

Saturday, April 26, 2014

Cinta tanpa "Ke-akuan" dan keberanian untuk melepas

Hi Dear,
Kali ini saya akan membagikan kisah-kisah cinta tanpa "ke-akuan" dan keberanian untuk melepas apa yang selama ini sudah kita jaga. Kisah ini beberapa saya ambil dari buku best seller "Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya" karya Ajahn Brahm seorang biksu ternama dari Australia. Selain itu juga dari pengalaman saya pribadi dan pengalaman keluarga saya.





Kisah I (Saya ambil dari buku "Si Cacing dan kotoran kesayangannya)

Alkisah ada seorang pria yang selalu mengendarai motor Harley kemanapun ia pergi untuk mengajar. Suatu ketika ia hendak makan siang di sebuah restoran cepat saji dan ia memarkir motornya tepat di depan restoran itu. Ketika ia selesai makan ia mendapati bahwa motornya telah hilang. Bukannya sedih atau memaki sang maling, si pria ini justru berkata "Tuhan terima kasih atas motor yang pernah engkau berikan sebagai teman perjalananku, betapa banyak pengalaman yang kami lewati bersama, semoga motorku kini berguna bagi ia yang telah mengambilnya, semoga motorku menjadi berkat bagi mereka yang memakainya".

Ini murni sebuah cinta tanpa ke-akuan dan ia telah melepas miliknya yang telah hilang dan justru karena cintanya ia sampai mendoakan maling yang mencuri motornya.



Kisah II (Paman dan (Alm) Tante)

Ini adalah peristiwa yang dialami keluarga saya dan bagi saya peristiwa ini sungguh menunjukkan janji perkawinan Katolik yang kira-kira berbunyi:

"Aku mencintaimu dalam keadaan susah maupun senang, sehat maupun sakit sampai maut memisahkan kita"


Paman dan Tante saya ini adalah orang yang mengurus dan membesarkan saya dari kecil (semenjak mama saya meninggal). Suatu ketika tante saya menderita sakit ginjal yang begitu kronis, dan ia juga mengalami pendarahan lambung.

Tante saya pun harus dibawa ke sebuah Rumah Sakit di Cibinong dan pada awalnya semua proses penyembuhan berjalan baik. Tetapi kemudian kondisi kesehatan tante saya memburuk dan ia harus masuk ruang isolasi Ternyata setelah didiagnosa, tante saya juga mengidap TBC dan ia tidak pernah memberitahukan kepada keluarga karena ia tidak mau menyusahkan.

Singkat kata tante saya akhirnya harus memasuki ruang ICU setelah ia mengalami kolaps yang pertama kalinya dan setelah menerima sakramen pengurapan orang sakit. Selama ia di rumah sakit ia mengalami sampai 5x Kolaps dan ia berada di rumah sakit kurang lebih selama 10 hari (1 hari ruang rawat biasa, 2 hari ruang isolasi, 7 hari ruang ICU). Selama itu pula paman saya tidak mau pulang ke rumah dan dengan seuntai rosario ia terus berdoa untuk kesembuhan tante saya. 

Saat terjadi kolaps yang pertama sampai ketiga kalinya, paman saya belum bisa menerima dan terus menangis sambil terus berseru "Yesus dan Maria"

Setelah melihat bahwa segala kemungkinan menjadi tipis akhirnya paman saya berkata kepada adik-adiknya (om dan tante saya yang lain) sambil sedikit menahan tangis, katanya:

"Kalau memang dia harus pergi saya sudah siap, kalau Tuhan memang lebih menyayangi dia biarlah ia pergi dengan tenang supaya dia tidak mengalami sakit keras lagi. Saya percaya dia sudah sembuh bukan secara fisik tapi secara rohani dia sudah sembuh"

Akhirnya pada hari yang ke-10 pada malam hari pukul 21.15 tante saya menghembuskan nafas terakhirnya dengan tenang di hadapan paman saya yang hanya memandanginya tanpa meneteskan air mata. Tetapi setelah keluar dari ruang ICU paman saya akhirnya menangis sejadinya dan ia berkata ia berusaha untuk tidak menangis di dalam ICU supaya tante saya bisa pergi dengan tenang.

Setelah saya renungkan sampailah saya pada satu kesimpulan yaitu tante saya pada akhirnya bisa pergi dengan tenang karena paman saya menunjukkan Cinta tanpa ke-akuannya, dan karena ia telah rela melepas kepergian tante saya meskipun amat berat rasanya.


Kisah III (Pengalaman pribadi)

Selama saya menjalani perkuliahan di salah satu kampus swasta di Jakarta, saya telah banyak menjalin hubungan khusus dengan beberapa wanita (semuanya kandas tanpa alasan yang jelas). Salah satu yang paling saya ingat adalah sekitar 1,5 tahun lalu ketika saya menjalin hubungan dekat dengan seorang wanita yang tidak bisa saya sebutkan namanya.

Awalnya semua berjalan lancar dan saya berkata bahwa saya ingin mengucapkan perasaan tapi menunggu saya mendapatkan sebuah job. Dia pun berkata demikian dan ia berkata bahwa ia ingin memiliki karir sebelum berpacaran.

Tapi hanya dalam waktu beberapa bulan kemudian ia berpacaran dengan seorang pria di kampus. Kejadian ini tentu sungguh membuat saya merasa kecewa dan merasa dikhianati (bagi saya ini manusiawi). Tetapi saya tidak larut dalam kekecewaan dan akhirnya saya sampai pada sebuah kesimpulan yang berkata:

"Setiap orang punya hak untuk menentukan dimana dan dengan siapa dia merasa nyaman"

Saya menyayangi dia namun karena itu pula saya harus merelakan dia supaya dengan harapan dia bisa lebih bahagia bersama pria lain. Dengan rela saya melepasnya dan akhirnya saya bisa menjalani hidup saya dengan lebih damai. Sampai saat ini saya sering bertemu dengannya dan setiap bertemu saya dan dia saling menyapa layaknya teman biasa.

Ini semua karena akhirnya saya bisa mengerti cinta tanpa ke-akuan dan keberanian untuk melepas apa yang selama ini saya jaga.


Ada hal-hal yang tidak ingin kita ketahui tapi harus kita pelajari
Ada hal-hal yang tidak ingin kita lihat tapi harus terjadi
Ada orang-orang yang ingin kita jaga tetapi harus kita pasrahkan
-Anonim-

No comments:

Post a Comment