Powered By Blogger

Wednesday, March 23, 2016

Pembasuhan kaki dan teladan di dalamnya


Dengan memasuki Minggu Palma, umat Nasrani secara khusus Gereja Katolik memasuki pekan suci dimulai dengan Minggu Palma dan rangkaian Tri Hari Suci. Itu berarti masa pantang dan puasa akan segera berakhir. Secara khusus, Gereja Katolik memulai masa Prapaskan sejak hari Rabu Abu dengan tanda abu di dahi. Melalui tanda itulah, umat Katolik sejagat memasuki masa pertobatan agung selama 40 hari hingga hari Jumat Agung.

Kamis Putih adalah salah satu hari dari rangkaian pekan suci umat Nasrani, dan pada hari Kamis Putih, Gereja sejagat akan mengenang kembali perjamuan terakhir antara Yesus dan para murid-Nya sebagaimana diceritakan dalam ketiga Injil Sinoptik. Dalam perjamuan itu, Yesus menyerahkan tubuh dan darah-Nya serta kenangan akan perjamuan bagi keselamatan manusia. Perjamuan terakhir itulah yang menjadi dasar dari perayaan Ekaristi yang selalu dikenangkan oleh Gereja Katolik setiap hari.

Selain juga dikenangkan pula kisah pembasuhan kaki oleh Yesus terhadap para murid-Nya yang diceritakan dalam Injil Yohanes (Yoh 13:1-20). Kisah "Yesus membasuh kaki para muridNya" (Yoh 13:1-20) adalah salah satu kisah paling terkenal dalam Kitab Suci. Kisah ini menunjukkan teladan dan semangat pelayanan yang diwartakan sendiri oleh Yesus.



Mengapa harus kaki? Karena kaki adalah bagian paling kotor dalam diri manusia. Saat berjalan, kaki menginjak berbagai kotoran yang ada, tetapi kaki yang kotor itu justru disentuh, dibasuh dan dikecup oleh Yesus. Hal ini menunjukkan, spiritualitas pelayanan kristen yang sejati harus mampu menyentuh bagian paling buruk sekalipun dalam diri manusia. Pelayanan yang sejati bukanlah sekedar berteriak "Alleluya Puji Tuhan, Tuhan baik" tapi mau untuk melakukan pelayanan nyata kepada segala makhluk. Hal yang sama dilakukan oleh Santo Fransiskus Assisi ketika ia bertemu dengan orang kusta dalam perjalanan menuju Damaskus. Fransiskus tidak hanya sekedar mengiba tapi ia turun dari kudanya dan mencium serta mendoakan, dan memberi makan orang kusta itu. Demikian juga dilakukan oleh Beata Mother Theresa yang melayani ribuan orang miskin dankusta dari segala suku dan agama di India.

(Foto: Santo Fransiskus Assisi)


(Foto: Beata Mother Theresa)

Pelayanan yang sejati harus mampu menyentuh bagian terdalam dari orang lain dan memberi cinta yang seutuhnya. Hal inilah saat ini dilakukan oleh Bapa Suci, Paus Fransiskus. Ia tidak ragu mencium orang yang berpenyakit kulit dan ia juga melakukan pembasuhan kaki terhadap seorang tahanan non-kristen, bahkan baru-baru ini kabarnya pembasuhan kaki boleh dilakukan terhadap perempuan saat Misa Kamis Putih.


(Foto: Paus mencium seorang yang menderita penyakit langka neurofibromatosis)




Mengapa Yesus menanggalkan jubah? Karena jubah adalah suatu tanda yang membedakan. Ketika Yesus menanggalkan jubahNya itu berarti Ia mau dan rela menjadi sama dengan para muridNya, Sang Guru menjadi serupa dengan murid. Hal ini menunjukkan pelayanan kristen yang sejati harus mau untuk melepas segala kebanggan diri dan menjadi sama dengan yang dilayani. Santo Maximillianus Kolbe misalnya, ia bukan hanya melepaskan bajunya, memberikan makanannya, tapi ia merelakan dirinya untuk menyelamatkan seorang tentara Polandia dari hukuman mati yang dijatuhkan Nazi di kamp konsentrasi Auschwitz. Dalam melayani, semua pelayan harus meninggalkan segala bentuk identitas diri yang membuatnya terlihat lebih tinggi dan hebat dari orang lain.

(Foto: Santo Maximillianus Kolbe)


Di Indonesia pada masa ini dapat kita melihatnya dalam diri Romo Charles Patrick Edward Burrow, OMI yang biasa dipanggil Romo Carolus, OMI. Beliaulah yang membangun kampung laut di pulau Nusakambangan, dan merawat orang-orang yang dulu disingkirkan rezim orde baru karena dianggap pernah ikut partai terlarang (lihat disini). Beliau jugalah yang senantiasa mendampingi para tahanan yang dihukum mati sampai akhir.

(Foto: Romo Carolus, OMI)

Mengapa bukan murid Yesus yang membasuh kaki? Karena Yesus ingin menunjukkan bahwa pemimpin yang sejati adalah mereka yang merendahkan diri dan melayani bawahannya. Santo Fransiskus dari Assisi pernah mengatakan "Allah selalu kelihatan rendah, sama seperti ia turun dari surga, dan lahir dari perawan yang miskin di kandang yang miskin, setiap hari ia selalu merendahkan diriNya". Teladan Yesus itulah menjadi dasar bagi semboyan para Paus "Servus Servorum Dei", yang berarti "hamba dari para hamba Allah". Pemimpin yang sejati adalah ia yang melayani umatNya dengan sepenuh hati dan tenaganya.

Di Indonesia, kita dapat melihatnya dalam diri Romo Y.B. Mangunwijaya yang tidak hanya diam di bangunan gereja tapi melakukan pelayanan seutuhnya untuk umat dan bangsa.

(Foto: Romo Y.B. Mangunwijaya)

Memang dalam sejarah Gereja, banyak Paus dan para pemimpin lain yang tidak bertindak sebagaimana mestinya tapi itu sama sekali tidak mengubah teladan pelayanan sejati yang diwartakan oleh Yesus. Tentunya juga masih banyak orang-orang lain yang bisa menjadi teladan pelayanan bagi semua orang. Akan tetapi yang lebih penting adalah semua orang harus memiliki jiwa pelayanan yang sejati di dalam dirinya

Demikian pula dalam pelayanan Gereja dimanapun itu, hilangkanlah sikap eksklusif (sering terjadi di kalangan orang muda), sikap "mencari zona aman", dan "pelayanan yang terbatasi oleh batas teritorial". Ketika gejala sikap eksklusif dan zona aman mulai menyerang ada baiknya kita kembali membaca kisah pembasuhan kaki, merenungkan, serta melakukan kembali apa yang diperintahkan Yesus. Karena memang haruslah demikian!
Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti (Mat 19:12b)

Semoga Tuhan memberkati, dan mohon kritik serta saran yang membangun.

No comments:

Post a Comment